Rasulullah saw bersabda:
“Setiap manusia pernah
melakukan kesalahan, dan sebaik-baik pelaku kesalahan itu adalah orang yang
segera bertaubat kepada Allah SWT”. Ini berarti bahwa namusia yang baik bukan
orang yang tidak pernah berbuat salah, sebab itu mustahil kecuali Rasulullah
SAW yang ma’shum (senantiasa dalam bimbingan Allah SWT).
Tetapi, manusia yang baik
adalah manusia yang menyadari kesalahannya dan segera bertaubat kepada-Nya.
Dalam Islam, mampu memaafkan
kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa (muttaqin).
Allah SWT berfirman:
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ
مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu, Allah menyediakan syurga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang
menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang atau sempit dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134).
Belajar Memaafkan Dari Rasulullah
Setelah pembebasan Makkah (Fardhu
Makkah), di hadapan orang-orang yang selama ini gigih memusuhinya,
Rasulullah bersabda : “Wahai
orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu sekalian apa kira-kira yang akan aku
perbuat terhadapmu sekarang? Jawab mereka: “Yang baik-baik. Saudara kami yang
pemurah. Sepupu kami yang pemurah.” Mendengar jawaban itu Nabi kemudian berkata:
“Pergilah kamu semua, sekarang kamu sudah bebas.” Begitu luruh jiwa Nabi,
karena dengan ucapan itu kepada kaum Quraisy dan kepada seluruh penduduk
Makkah, beliau telah memberikan amnesti (ampunan) umum. Padahal saat itu nyata
mereka tergantung hanya di ujung bibirnya dan kepada wewenangnya atas ribuan
bala tentara Muslim yang bersenjata lengkap yang ada bersamanya. Mereka dapat
mengikis habis penduduk Makkah dalam sekejap hanya tinggal menurut perintah
dari Nabi.
Dengan pengampunan dan pemberi
maaf itu, jiwa Nabi telah melampaui kebesaran yang dimilikinya, melampaui rasa
dengki dan dendam di hati, menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang
mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan permusuhan di kalangan umat
manusia. Beliau bukan seorang tiran, yang mau menunjukkan sebagai orang yang
berkuasa. Padahal Nabi mengenal betul, kejahatan orang-orang yang diampuninya
itu. Siapa-siapa di antara mereka yang berkomplot untuk membunuhnya, yang telah
menganiayanya dan menganiaya para pengikutnya. Mereka melemparinya dengan
kotoran bahkan dengan batu saat mengajak manusia ke jalan Allah. Begitu
pemaafnya Rasulullah sekalipun itu kepada orang yang selalu menebar permusuhan,
meneror dan mengancam keselamatannya. Rasulullah begitu pemaaf, Tuhan juga Maha
mengampuni kesalahan hamba-Nya. Mengapa kita manusia biasa susah sekali
memberikan maaf?
Filosofis Maaf Dalam Islam
Ibnu Qudamah dalam Minhaju
Qashidin menjelaskan, bahwa makna memberi maaf di sini ialah sebenarnya engkau
mempunyai hak, tetapi engkau melepaskannya, tidak menuntut qishash atasnya atau
denda kepadanya. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran menjelaskan: Kata
maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti “menghapus” karena yang
memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya,
apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam
yang membara. Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam tahaf
‘masih menahan amarah’. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab
dengan begitu kita baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain.
Islam mengajak manusia untuk
saling memaafkan. Dan memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Karena sifat
pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang sangat luhur, yang harus menyertai
seorang Muslim yang bertakwa.
Allah swt berfirman:
فَمَنْ
عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“…Maka barangsiapa yang memaafkan
dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (Q.S.Asy-Syura : 40).
Dari Uqbah bin Amir, dia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu
tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau
menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu,
hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang
yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).
Al-Quran memang menetapkan, bahwa
seseorang yang diperlakukan secara dzalim diizinkan untuk membela diri tapi
bukan didasarkan balas dendam. Pembelaan diri dilakukan dengan penuh simpati
seraya menunjukan perangai yang luhur, bersabar, memaafkan dan toleran. Ketika
Matsah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar menyebarkan gosip yang menyangkut
kehormatan putrinya Aisyah yang juga istri Nabi. Abu Bakar bersumpah tidak akan
membiayainya lagi. Tapi, Allah melarangnya sambil menganjurkan untuk memberika
maaf dan berlapang dada.
وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
".... dan hendaklah mereka
mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Q.S. an-Nur : 22).
Dari ayat ini ternyata ada
tingkatan yang lebih tinggi dari alafwu (maaf), yaitu alshafhu. Kata ini pada
mulanya berarti kelapangan. Darinya dibentuk kata shafhat yang berarti lembaran
atau halaman, serta mushafahat yang berarti yang berarti berjabat tangan.
Seorang yang melakukan alshafhu seperti anjuran ayat diatas, dituntut untuk
melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat
pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Alshafhu yang digambarkan dalam
bentuk jabat tangan itu, menurut Al-Raghib al-Asfahaniy ‘lebih tinggi nilainya’
dari pada memaafkan. Dalam alshafhu dituntut untuk mampu kembali membuka
lembaran baru dan menutup lembaran lama. ‘Let’s gone be by gone’ (yang lalu
biarlah berlalu), bangun kembali masa depan dengan semangat yang baru. Kita
selalu lupa, karena kesalahan yang telah dibuat orang lain, kita lalu melupakan
semua kebaikan yang telah dibuatnya. Untuk itu, kita juga harus memperlakukan
semuanya secara seimbang. Yang terbaik buat kita hari ini adalah bersama-sama
membangun kembali dengan semangat baru, ketulusan hati dan semangat
persaudaraan.
Jangan ada yang berkata: “Tiada
maaf bagimu”.
Ahli hikmah mengatakan: Ingatlah
dua hal dan lupakanlah dua hal. Lupakanlah kebaikanmu kepada orang lain dan
lupakanlah kesalahan orang lain kepadamu.
Wallahu a’lam bishshowwab
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar