Bandarlampung. Gerakan radikalisme dan terorisme kian marak berkembang hingga menyentuh dunia kampus sebagai lahan penyebaran paham radikal. Kampus sebagai tempat mahasiswa yang menimba ilmu dinilai strategis oleh para penyebar paham radikal karena mahasiswa masih labil dan mencari jati diri serta kurangnya pemahaman agama maka radikalisme mudah menyebar bak jamur di musim hujan.
Berangkat dari fenomena radikalisme yang merebak di dunia kampus maka sebagai langkah menangkal gerakan radikalisme dan terorisme di kampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Brojonegoro Universitas Lampung dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Universitas Lampung mengadakan diskusi panel dengan tema “Peran Ulama dan Civitas Akademika dalam Mengantisipasi Gerakan Radikalisme dan Terorisme di Kampus” yang berlangsung pada hari Rabu, 30 November 2011 di Aula Wisma Universitas Lampung. Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Propinsi Lampung Dr. H. Muhammad Bahrudin, sebagai panelis, Dekan FKIP Unila Dr. H. Bujang Rahman, M.Pd. serta Dr. H. Khairuddin Tahmid, M.H. yang juga sebagai pemateri.
Berikut ini hasil diskusi panel tersebut :
PERAN ULAMA DAN CIVITAS AKADEMIKA DALAM MENGANTISIPASI GERAKAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KAMPUS
Diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Unila dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Unila, pada tanggal, 30 November 2011 di Wisma Unila
Moderator: Iwan Satriawan, S. H., M. H. (Dosen Fakultas Hukum Unila)
Pembicara :
Dr. H. Khairuddin Tahmid, M. H. (Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan)
Radikalisme adalah paham atau keyakinan untuk melakukan perubahan secara mendasar, menafikan pandangan orang lain, dan pada puncaknya menggunakan kekerasan (teror). Sedangkan gerakan terorisme selalu didasari faham radikal, seperti ingin merubah system negara NKRI, menghalalkan atas nama agama, menganggap pemerintah sebagai pemerintah toghut.
Sasaran gerakan radikalisme dan terorisme, akhir-akhir ini telah masuk ke institusi perguruan tinggi (mahasiswa), baik pada perguruan tinggi umum maupun agama. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa mahasiswa berlatar belakang perguruan tinggi umum relative mudah direkrut untuk menjadi radikal dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi agama.
Untuk mengantisipasi gerakan tersebut, peran keagamaan (ulama), perguruan tinggi dan elemen masyarakat lainnya sangat penting, terutama melalui counter pandangan, pemikiran (dari sikap yang keras, anti NKRI menjadi toleran, menghargai perbedaan pendapat, demokratis, moderat, pluralis, memahami sesuatu tidak hitam putih dan menggunakan pendekatan simbotik dalam memahami relasi agama dan Negara).
Agama dalam konteks Negara mesti diletakan sebagai sumber nilai, dan fungsional agama mengambil peran tawasuth (moderat). Perjuangan menegakan agama dalam Negara Pancasila mesti ditata dengan prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan secara deametris anatara agama vs negara atau sebaliknya. Hingga saat ini Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai pluralis, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi Negara agama maupun menjadi Negara sekuler yang mengabaikan nilai-nilai agama.
Dr. H. Bujang Rahman, M. Si. (Dekan FKIP Unila)
Untuk mengantisipasi gerakan radikalisme dan terorisme di Kampus, maka perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan secara komprehensif. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan agama di sekolahan. Upaya ini mungkin selama ini kurang begitu berhasil, karena pendidikan agama di sekolahan selama ini kebijakannya inkonsistensi, kontennya terlalu formal, dan pembelajaran yang kurang mendidik. Oleh karena itu, perlu memperkuat budaya akademik di kampus, dengan menjadikan kampus sebagai pusat IPTEK dan Seni, memberikan kepastian masa depan, mengarahkan mahasiswa pada kegiatan-kegiatan yang positif untuk pemantapan dan penghayatan profesi, dan penegakan disiplin.
Akan tetapi, kondisi terebut terkadang tidak didukung oleh realita kehidupan yang ada dimasyarakat, karena kondisi riil di masyarakat terkadang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan di sekolah. Masyarakat yang tidak sepenuhnya mendukung upaya pendidikan (terutama ahlak). Dan yang paling miris adalah perilaku elite yang tidak terpuji.
Dr. M. Baharuddin, M. A. (Ketua FKUB Lampung)
Jika di tengok dari sejarah Islam, radikalisme ternyata sudah ada sejak zaman Rosulullah, Khulafaur Rosyidin, hingga saat ini. Radikalisme yang dimaksud adalah suatu tindakan sikap dan perilaku kekerasan yang disebabkan karena adanya perbedaan pendapat dan aspek kepentingan. Paham radikal yang sedang berkembang saat ini lebih karena disebabkan kurangnya pemahaman terkait akidah Islam serta kurangnya rasa toleransi dalam diri pribadi. Paham radikal yang ada di Indonesia banyak yang menyerang kalangan mahasiswa dengan konsep Islam radikal dan fundamentalis. Paham yang dibawa tersebut banyak di adopsi dari luar Indonesia dan pembawa paham Islam radikal memilih Indonesia karena menilai Indonesia sangat strategis dengan kultur manusianya yang majemuk dan sedang ditimpa banyak permasalahan, baik masalah ketidakadilan hukum, politik, ekonomi, yang semuanya itu belum bisa mensejahterakan rakyat Indonesia sehingga dengan konsep baru yang radikal dan fundamental tersebut mudah masuk dan diterima. Gerakan radikal tersebut bermacam-macam namun yang paling membahayakan adalah gerakan radikal yang merongrong ideologi Pancasila. Sebenarnya gerakan radikal tersebut ada yang bersifat positif seperti gerakan oleh para pahlawan kemerdekaan Indonesia yang bersikap “radikal” terhadap para penjajah. Namun radikal yang bersifat negatif seperti gerakan Wahabisasi dan gerakan radikal yang merongrong ideologi Pancasila tersebut yang membahayakan keberlangsungan NKRI dengan tindakan-tindakan makar, kekerasan, merasa dirinya paling benar, dll.
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan peran dari berbagai pihak, diantaranya peran dunia pendidikan dalam mengcounter dan mempreventif tindakan radikal. Disampaikan pula konferensi WCRP Kyoto yaitu Genesis and contents of the Global Ethic Project
- "No peace among the nations without peace among the religions."
- "No peace among the religions without dialogue among the religions."
- "No dialogue among the religions without a consensus on shared ethical values, a global ethic."
- "No new world order without a global ethic."
- ==============================================================
- Sumber : Mustofa Abi Hamid (Ketua Bidang K & D)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar