Oleh KH Imam Jazuli, LC MA*
Dengan mengacu pada hasil keputusan Muktamar NU ke-32 di Makassar Sulawesi Selatan, bahwa hari lahir Nahdlatul Ulama diperingati mengikuti penanggalan Hijriyah. Tahun ini peringatan hari lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama jatuh pada 17 Juni 2011, bertepatan dengan 16 Rajab 1432 H. Pada tahun ini NU telah berumur 85 tahun. Puncak acara Harlah Nahdlatul Ulama (NU) secara nasional jatuh pada hari Ahad, 16 Juli 2011.
Kenapa Harlah NU penting untuk diperingati? Setidaknya punya beberapa alasan penting. Pertama, rakyat Indonesia, khususnya warga nahdliyin paham dan mengerti semangat awal, kenapa NU itu perlu dan didirikan saat itu? Kedua, Untuk melihat kembali apa dan bagaimana semangat para pendahulu kita atau para Masyayikh pendiri dan penggerak awal organisasi NU. Ketiga, Agara kita bisa melihat sejauh mana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NU dalam turut serta mendirikan Negara Republik Indonesia. Sebagai upaya menjelaskan ketiga alasan tersebut, setidaknya ada dua kerangka besar yang perlu disebut disini, yaitu terkait dengan lahirnya Komite Hejaz sebagai cikal-bakal NU dan sumbangan besar NU dalam merrumuskan posisi Islam dalam kerangka negara kebangsaan.Komite Hijaz
Lahirnya Komite Hijaz, mula-mula, penguasa Kerajaan Saudi (Ibnu Saud) mendeklarasikan asas tunggal, yaitu umat Islam seluruh dunia agar bermadzhab wahabi. Alasan Ibnu Saud saat itu demi kemajuan Islam dan pemurnian ajaran/syariat Islam. Karenanya hal-hal yang menurutnya dianggap khurafat, bid'ah dan tahayul harus dihapuskan. Dan kosekuwensi dari idiologi ini mengakibatkan hendak dihancurkannya semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama itu banyak diziarahi oleh umat muslim dunia.
Deklarisi itupun diamini dan disambut hangat oleh ulama modernis di Indonesia, terutama dari kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, dan PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sementara, kalangan pesantren yang tradisionalis, menolak mentah-mentah deklarasi tersebut, dan menurutnya pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Terutama bertentangan dengan konsep Qurani, misalnya apa yang tersirat dalam (Q.S. al-Rum, 22). sebab secara fakta, Tuhanlah yang menciptakan keragaman tersebut.
Sikap yang berbeda dan kritis inipun, berbuah pahit pada kalangan pesantren, mereka dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta 1925, keputusan inipun berakibat pada panitia Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang juga tidak melibatkan kaum sarungan ini. Akan tetapi, kalangan pesantrean tidak ambil diam dengan keputusan ini, karena baginya, kebebasan bermadzhab adalah termasuk hal yang asasi pada manusia, juga pelestarian warisan peradaban adalah panggilan qur'ani sebagai i'tibar akan pesan Islam. Kaum saringan ini akhirnya membuat kelompok atau delegasi sendiri yang diberi nama Komite Hijaz dengan ketua KH Wahab Hasbullah.
Atas dukungan ulama dunia, terutama dari India, Komite Hijaz ini berhasil sampai di Mekah dan terlibat aktif di forum internasinal tersebut (Mu’tamar ‘Alam Islami). Hasilnya deklarasi madzhab tunggal wahabi yang dicetuskan Ibnu Saud gagal diimplementasikan. Kalangan pesantren bersama ulama dunia lain, berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga di Makah dan Madinah saat itu. Belajar dari peristiwa ini, anggota Komite Hejaz merasa perlu dan penting membentuk organisasi formal dan sistematis, untuk mengantisipasi problem ummat di masa mendatang. Akhirnya lahirlah NU (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Negara Pancasila
Sejak masa penjajahan berlangsung dan menjelang kemerdekaan, pergulatan intelektual, teologis, ideologis maupun politis tentang posisi Islam dalam nation state terus berlangsung. Kemudian jalan tengahpun diambil, yaitu dengan hadirnya deklarasi Piagam Jakarta. Dan dari deklarasi inilah kemudian idiologi Pancasila lahir dan UUD 1945 hadir sebagai tafasir atau pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila. tercetusnya Piagam Jakarta, tak dipungkuri secara historis, hasil dari keterlibatan baik langsung maupun tak langsung dari pemikir berkultur pesantren pada saat itu, misalnya H Agus Salim, H Abdoel Muis dan tentu KH Hasyim Asy’ari.
Saat itu, kalangan pesantren yakin dan tegas, bahwa Indonesia bukan darul kuffar (negara kafir) bila merujuk pada Pancasila sebagai falsafah negara. Pancasila mengandung beberapa filter yang diharapkan mampu menyaring arus masuknya ideologi dari luar dan bukan menafikannya. Nilai-nilai utama itu adalah tauhid, toleransi, pluralistik, moderat dan seimbang. Tauhid tepatnya untuk membangun kehidupan religius berdasarkan nilai-nilai agama masing-masing dan bukan berarti harus menyamakan semua agama. Tasamuh (toleransi) berguna untuk membendung suatu fanatisme yang berlebihan. Ta’aduddiyah (pluralistik) merupakan prasyarat utama bagi tegaknya toleransi yang dijalankan melalui ta’aruf (komunikasi dan solidaritas). Tawasuth (moderat) membuat bangsa Indonesia terbuka dengan berbagai perkembangan dunia yang dipandu oleh prinsip-prinsip religius. Tawazun membuat kita tidak kebablasan dalam menghadapi kebebasan (liberalisme) dan juga tidak membuat kita memunculkan sifat fanatisme, ekstrimisme dan radikalisme.
Saat republik ini dibentuk, NU melalui para ulama pesantren, salah satunya KH Wahid Hasyim sudah bersepekat bahwa, negara ini berdasarkan Pancasila dan berpedoman pada Bhineka Tunggal Ika. Sementara menurut KH Achmad Siddiq, Negara Republik Indonesia adalah upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Negara RI yang berdasar Pancasila itu dipandang sebagai wasilah untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Alasan Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu’ahadah atau misaq, kesepakatan, antara ummat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan negara.
Begitulah, NU sedari dulu bersepakat untuk menerima dasar dan pedoman ini, dan dasar keputusan tersebut sudah diambil melalui kajian yang cukup mendalam oleh para masayikh NU. Karenanya setiap ada momen kritis yang membahayakan eksistensi bangsa dan negara, NU selalu hadir sebagai palung penyelamat. Misalnya, belakangan, ketika munculnya fenomena gerakan ‘cuci otak ala NII (Negara Islam Indonesia)’ yang mendera sejumlah pelajar di berbagai daerah di Indonesia, NU selalu memerankan diri sebagai penjinak gerakan formalitas agama tersebut, dengan benteng-bentengnya di seluruh Pesantren di Indonesia. Begitu juga saat gerakan sekularisme yang melampaui batas, NU juga hadir sebagai pembatas dengan cara inklusif dan arif.
Bagi NU, kedaulatan dan keutuhan negara merupakan kepentingan nasional yang tidak dapat dikompromikan. Upaya untuk menegakkan kedaupayan dan keutuhan negara, kita laksanakan dengan berbagai cara. Mulai dari pendekatan yang paling lunak hingga yang paling keras seperti yang pernah diperankan oleh organisasi sayapnya (ANSOR) saat republik ini hampir digenggam oleh idiologo marxis-komunisme, di tahun-tahun 1965an.
Dengan demikian, pengabdian NU tidak hanya terbatas pada agama (keagamaan) akan tetapi peran NU juga sangat besar dalam mendirikan negara ini. Ini berarti NU adalah pemilik sah dari saham bagi berdirinya Negara Republik Indonesia ini. Tetapi, sebagai pemilik saham yang sah, sungguh ironis, warga nahdliyin yang mayoritas buruh dan tani dan tinggal di pedesaan, sampai saat ini masih jauh dari kesejahteraan. 85 tahun bukan waktu yang sebentar bagi sebuah laku dari perjalanan organisasi massa. Semoga kehadirannya tidak saja untuk dikenang dan dihayati, tapi kedepan semakin hari bisa kita rasakan manfaatnya. Selamat Harlah NU?
*Wakil Ketua PP RMI (Rabithah Ma'had Islamiyah) PBNU
Sumber : www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar